Pendahuluan
China kembali menegaskan tekadnya untuk memperkuat posisi sebagai kekuatan teknologi dunia melalui rencana pembangunan lima tahunan terbaru yang diumumkan pada tahun 2025. Fokus utama dari rencana ini adalah mempercepat kemandirian dalam bidang sains dan teknologi. Pemerintah China menyebut bahwa ketergantungan terhadap teknologi asing harus dikurangi secara drastis, terutama pada sektor-sektor strategis seperti semikonduktor, kecerdasan buatan (AI), energi baru, dan penelitian ilmiah dasar.
Langkah ini bukan sekadar ambisi ekonomi, tetapi juga strategi jangka panjang untuk menjaga stabilitas nasional di tengah ketegangan global dalam rantai pasok teknologi. Dengan populasi besar, tenaga kerja terdidik, serta dukungan penuh dari pemerintah pusat, China berupaya membangun ekosistem inovasi yang sepenuhnya mandiri dan berdaya saing tinggi di panggung internasional.
Latar Belakang: Tantangan Ketergantungan Teknologi
Dalam beberapa tahun terakhir, China menghadapi berbagai hambatan dalam pengembangan industrinya akibat ketergantungan terhadap teknologi luar negeri. Banyak perusahaan besar China, seperti Huawei dan SMIC (Semiconductor Manufacturing International Corporation), menghadapi sanksi dan pembatasan ekspor dari negara lain, terutama Amerika Serikat. Akibatnya, kemampuan China dalam memperoleh chip canggih, peralatan manufaktur, dan software teknologi tinggi menjadi terbatas.
Hal ini menyadarkan pemerintah bahwa ketergantungan semacam itu dapat menjadi risiko besar bagi keamanan ekonomi dan pertahanan negara. Maka, Beijing mulai merumuskan kebijakan yang disebut “dual circulation” — strategi yang menekankan penguatan pasar domestik dan inovasi dalam negeri sambil tetap membuka hubungan internasional yang selektif.
Rencana lima tahunan terbaru memperluas semangat tersebut dengan fokus yang lebih tajam: menjadikan China mandiri dalam teknologi utama sebelum tahun 2030. Pemerintah menargetkan peningkatan investasi riset dan pengembangan (R&D) hingga lebih dari 3,5% dari total PDB, sebuah lonjakan besar dibanding dekade sebelumnya.
Fokus Utama: Riset Dasar dan Inovasi Teknologi Tinggi
Dalam dokumen resmi perencanaan, pemerintah menyoroti dua lapisan pembangunan sains dan teknologi. Pertama, penguatan riset dasar (fundamental research) — yaitu penelitian ilmiah yang menjadi fondasi bagi teknologi masa depan seperti fisika kuantum, bioteknologi, material baru, dan kecerdasan buatan tingkat lanjut.
China telah mendirikan berbagai lembaga riset nasional di kota-kota besar seperti Beijing, Shanghai, dan Shenzhen. Lembaga-lembaga ini mendapat pendanaan besar untuk melakukan penelitian tanpa tekanan komersial jangka pendek. Tujuannya agar ilmuwan China dapat menghasilkan terobosan orisinal, bukan hanya meniru atau mengadaptasi inovasi dari luar negeri.
Kedua, pengembangan teknologi strategis terapan, terutama di bidang:
-
Semikonduktor dan chip komputer. China berupaya menguasai rantai pasok dari bahan mentah, desain chip, hingga mesin litografi.
-
AI dan komputasi kuantum. Fokusnya pada otomatisasi industri, kendaraan otonom, dan pengolahan data berskala besar.
-
Energi baru dan teknologi hijau. Termasuk kendaraan listrik, baterai solid-state, panel surya, serta sistem penyimpanan energi.
-
Kesehatan dan bioteknologi. Dari vaksin mandiri hingga rekayasa genetika dan alat medis pintar.
Dalam implementasinya, pemerintah menggabungkan kebijakan fiskal, subsidi, serta insentif pajak bagi perusahaan dan lembaga riset yang aktif dalam inovasi di sektor-sektor tersebut.
Peran Industri dan Sektor Swasta
Menariknya, strategi kemandirian ini tidak hanya digerakkan oleh pemerintah. China menyadari pentingnya kolaborasi antara lembaga negara, universitas, dan sektor swasta. Perusahaan teknologi besar seperti Alibaba, Tencent, Huawei, Baidu, dan BYD kini menjadi bagian penting dalam “rantai inovasi nasional”.
Misalnya, Huawei mendirikan pusat riset AI di lebih dari 10 kota dan mengembangkan chip “Ascend” buatan dalam negeri untuk komputasi awan. Sementara itu, BYD dan CATL terus memimpin pengembangan baterai kendaraan listrik, menjadikan China sebagai pemain utama dalam pasar mobil listrik global.
Pemerintah memberikan dukungan berupa pendanaan murah, lahan penelitian, serta akses langsung ke universitas dan lembaga riset publik. Model kolaborasi semacam ini membentuk ekosistem inovasi yang disebut “National Innovation System,” di mana setiap sektor berkontribusi sesuai keahliannya untuk mencapai tujuan kemandirian teknologi nasional.
Pendidikan dan Talenta: Investasi pada Generasi Muda
Kemandirian teknologi tidak dapat dicapai tanpa sumber daya manusia yang unggul. Oleh karena itu, sistem pendidikan juga menjadi bagian penting dari rencana ini. China melakukan reformasi besar dalam kurikulum pendidikan tinggi, dengan fokus pada sains, matematika, teknik, dan teknologi informasi.
Pemerintah mendorong universitas-universitas untuk meningkatkan penelitian ilmiah, memperbanyak kolaborasi dengan industri, dan membuka program beasiswa bagi mahasiswa yang ingin meneliti bidang prioritas nasional.
Selain itu, ada upaya untuk menarik kembali ilmuwan asal China yang bekerja di luar negeri melalui berbagai program insentif, seperti “Thousand Talents Program.” Pemerintah berharap para peneliti diaspora ini dapat membawa pengalaman dan jaringan internasional mereka untuk memperkuat riset di tanah air.
Tantangan dan Risiko yang Dihadapi
Meski ambisi ini sangat besar, tantangan yang dihadapi China juga tidak sedikit. Pertama, ketegangan geopolitik dapat menghambat akses terhadap teknologi kunci seperti mesin litografi EUV yang masih dikuasai perusahaan Belanda (ASML). Tanpa mesin ini, produksi chip super canggih masih sulit dilakukan di dalam negeri.
Kedua, ketimpangan inovasi antar wilayah. Sebagian besar pusat riset dan teknologi terletak di kota-kota besar seperti Shanghai dan Shenzhen, sementara wilayah barat dan pedalaman masih tertinggal. Pemerintah perlu memastikan pemerataan agar tidak terjadi kesenjangan digital.
Ketiga, tantangan etika dan keamanan siber. Dengan pertumbuhan AI yang cepat, muncul kekhawatiran soal privasi data, penyalahgunaan teknologi pengawasan, serta potensi pelanggaran hak digital warga. Pemerintah kini sedang menyiapkan kerangka regulasi yang menyeimbangkan inovasi dengan etika dan keamanan.
Dampak Global dan Kompetisi Teknologi Dunia
Langkah China ini tentu memicu dinamika baru dalam lanskap teknologi global. Banyak negara kini menilai kebangkitan teknologi China sebagai ancaman sekaligus peluang. Di satu sisi, muncul kekhawatiran bahwa dominasi China di sektor energi hijau dan AI bisa menekan perusahaan-perusahaan Barat. Di sisi lain, kompetisi ini dapat mendorong inovasi global lebih cepat.
Beberapa analis menyebut bahwa dunia sedang menuju “era bipolar teknologi,” di mana terdapat dua ekosistem besar: satu berpusat di Amerika Serikat dan Eropa, dan satu lagi di China serta sekutunya. Kedua blok ini bersaing dalam standar teknologi, pasokan chip, hingga aturan keamanan siber.
Namun, jika dikelola dengan kerja sama yang sehat, persaingan ini juga dapat mempercepat transisi energi, mendorong riset global, dan memperkaya pertukaran pengetahuan antarnegara.
Visi Jangka Panjang: Menuju Kemandirian Ilmiah 2049
Dalam visi jangka panjang, China menargetkan menjadi negara dengan sistem inovasi paling maju di dunia menjelang tahun 2049, bertepatan dengan 100 tahun berdirinya Republik Rakyat China. Target tersebut mencakup:
-
Menjadi pemimpin dunia dalam teknologi strategis.
-
Menghasilkan lebih banyak paten dan publikasi ilmiah teratas dunia.
-
Menguasai rantai pasok global untuk industri penting.
-
Menjadi pusat riset ilmiah internasional yang terbuka dan berpengaruh.
Untuk mencapai tujuan itu, China juga meningkatkan kerja sama ilmiah dengan negara-negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin melalui proyek Belt and Road Initiative versi “digital” dan “ilmiah.” Dengan demikian, kemandirian tidak berarti isolasi, tetapi kemampuan untuk berperan secara setara di dunia yang semakin terhubung.
Kesimpulan
Langkah China mempercepat kemandirian dalam bidang sains dan teknologi merupakan strategi besar untuk menghadapi tantangan abad ke-21. Dalam dunia yang penuh ketidakpastian geopolitik dan disrupsi ekonomi, kemandirian inovasi menjadi kunci untuk mempertahankan kedaulatan dan daya saing global.
Melalui investasi besar-besaran di bidang riset dasar, pendidikan, industri teknologi, serta dukungan kebijakan nasional, China berupaya menciptakan ekosistem inovasi yang berkelanjutan dan tangguh. Meski jalan menuju kemandirian penuh masih panjang dan penuh tantangan, arah yang diambil menunjukkan tekad kuat untuk berdiri di atas kaki sendiri dalam bidang teknologi.
Jika strategi ini berhasil, bukan tidak mungkin China akan menjadi salah satu pusat ilmu pengetahuan dan teknologi terkuat di dunia — bukan hanya karena skala industrinya, tetapi juga karena kemampuannya menciptakan pengetahuan dan inovasi yang orisinal.
