Lautan menutupi lebih dari dua pertiga permukaan bumi, menjadi rumah bagi jutaan spesies, pengatur iklim global, serta sumber kehidupan bagi manusia di seluruh dunia. Namun ironisnya, sebagian besar area laut di dunia—terutama yang berada di luar yurisdiksi negara mana pun—selama ini nyaris tak terlindungi dari eksploitasi berlebihan. Area inilah yang disebut sebagai laut lepas (high seas).
Selama bertahun-tahun, wilayah laut lepas menjadi semacam “wild west” bagi kegiatan manusia di lautan. Negara, perusahaan, dan kapal penangkap ikan bebas melakukan eksplorasi, penangkapan, bahkan penelitian tanpa banyak pengawasan hukum. Akibatnya, ancaman seperti penangkapan ikan berlebih, pencemaran plastik, pertambangan dasar laut, dan pemanasan global mempercepat kerusakan ekosistem laut dalam yang rapuh.
Setelah lebih dari 15 tahun negosiasi yang melelahkan, dunia akhirnya menyepakati sebuah langkah monumental: Perjanjian Laut Lepas PBB, atau yang dikenal sebagai UN High Seas Treaty. Perjanjian ini menjadi tonggak penting dalam sejarah perlindungan lingkungan global, karena untuk pertama kalinya negara-negara dunia sepakat membuat aturan hukum yang komprehensif untuk melindungi area laut internasional di luar batas teritorial setiap negara.
Latar Belakang dan Tujuan Perjanjian
Selama ini, pengelolaan laut lepas hanya diatur secara terbatas oleh United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) yang disepakati tahun 1982. Meskipun UNCLOS memberikan kerangka umum tentang hak dan tanggung jawab negara di lautan, dokumen tersebut belum secara spesifik mengatur perlindungan keanekaragaman hayati di laut lepas.
Masalah muncul karena laut lepas mencakup sekitar 64% dari total luas lautan dunia, dan di area inilah banyak kegiatan industri seperti perikanan skala besar, pelayaran internasional, serta eksplorasi sumber daya mineral dilakukan. Tanpa sistem perlindungan global, aktivitas tersebut menyebabkan degradasi lingkungan yang cepat.
Tujuan utama dari UN High Seas Treaty adalah melindungi keanekaragaman hayati laut di luar yurisdiksi nasional melalui mekanisme kerja sama internasional. Fokus utamanya meliputi empat hal:
-
Pembentukan kawasan lindung laut (Marine Protected Areas / MPA) di laut lepas.
-
Pengaturan pembagian manfaat dari sumber daya genetik laut, termasuk bioteknologi dan penelitian farmasi yang memanfaatkan organisme laut dalam.
-
Peningkatan kerja sama ilmiah dan transfer teknologi kelautan antarnegara.
-
Penerapan penilaian dampak lingkungan (Environmental Impact Assessment / EIA) sebelum melakukan aktivitas besar di laut lepas.
Dengan kerangka ini, diharapkan ekosistem laut dapat dipulihkan dan dikelola secara berkelanjutan, sejalan dengan target global “30x30”, yaitu melindungi 30% daratan dan lautan dunia sebelum tahun 2030.
Isi Pokok Perjanjian
Perjanjian ini berisi berbagai ketentuan yang mengikat negara-negara penandatangan. Salah satu hal paling penting adalah kemampuan PBB untuk membentuk kawasan konservasi di laut lepas. Ini artinya, jika mayoritas negara anggota sepakat, maka suatu wilayah laut bisa ditetapkan sebagai area lindung global, di mana kegiatan seperti penangkapan ikan atau pengeboran dilarang.
Selain itu, perjanjian ini mengatur tentang akses dan pembagian keuntungan dari sumber daya genetik laut. Banyak spesies laut dalam memiliki potensi besar bagi dunia farmasi, kosmetik, dan bioteknologi. Dengan perjanjian ini, hasil penelitian dan keuntungan ekonomi dari sumber daya tersebut harus dibagikan secara adil, terutama kepada negara-negara berkembang yang belum memiliki teknologi maju.
Bagian lain dari perjanjian membahas transfer teknologi dan kapasitas ilmiah. Negara-negara maju diwajibkan membantu negara berkembang dalam hal riset kelautan, penyediaan data, hingga pelatihan ilmuwan. Hal ini diharapkan menciptakan keadilan dalam ilmu pengetahuan laut, bukan hanya dominasi segelintir negara kaya.
Terakhir, setiap aktivitas besar di laut lepas — seperti pertambangan dasar laut atau pembangunan infrastruktur bawah laut — harus melewati proses penilaian dampak lingkungan yang transparan. Laporan penilaian ini harus terbuka untuk publik dan dapat ditinjau oleh badan internasional yang dibentuk oleh perjanjian tersebut.
Proses Ratifikasi dan Mulainya Berlaku
Perjanjian Laut Lepas mulai dibuka untuk ditandatangani oleh negara-negara anggota PBB pada tahun 2023. Untuk bisa berlaku secara resmi, perjanjian ini membutuhkan ratifikasi dari setidaknya 60 negara. Pada pertengahan tahun 2025, ambang batas tersebut berhasil tercapai, dan perjanjian dipastikan akan mulai berlaku efektif pada awal tahun 2026.
Negara-negara yang sudah meratifikasi termasuk sebagian besar anggota Uni Eropa, negara-negara di kawasan Pasifik, serta beberapa negara Amerika Latin dan Afrika. Beberapa negara maritim besar, seperti Jepang, Kanada, dan Australia, juga menunjukkan dukungan kuat.
Walaupun demikian, masih ada negara yang menunda ratifikasi karena khawatir terhadap dampak ekonominya, terutama bagi industri perikanan dan pertambangan laut. Namun mayoritas komunitas ilmiah menilai bahwa keuntungan ekologis jangka panjang jauh lebih besar daripada kerugian ekonomi jangka pendek.
Pentingnya Perjanjian Ini bagi Dunia
Perjanjian Laut Lepas bukan hanya soal hukum, tapi juga tentang masa depan planet bumi. Lautan menyerap hampir 30% karbon dioksida dari atmosfer dan memproduksi lebih dari separuh oksigen yang kita hirup. Jika ekosistem laut rusak, keseimbangan iklim global pun terganggu.
Beberapa contoh ancaman nyata yang ingin diatasi oleh perjanjian ini antara lain:
-
Penangkapan ikan berlebihan (overfishing): Populasi tuna, hiu, dan ikan laut dalam banyak yang menurun hingga lebih dari 70% dalam beberapa dekade terakhir.
-
Polusi plastik: Setiap tahun jutaan ton plastik masuk ke laut, membentuk “pulau sampah” raksasa yang mengancam kehidupan laut.
-
Pertambangan laut dalam: Aktivitas eksplorasi mineral seperti nikel, kobalt, dan mangan di dasar laut berpotensi menghancurkan habitat yang belum sempat dipelajari.
-
Pemanasan laut: Suhu laut global terus meningkat, menyebabkan pemutihan karang massal dan migrasi besar-besaran spesies laut.
Dengan adanya perjanjian ini, dunia kini memiliki dasar hukum internasional yang memungkinkan tindakan kolektif untuk mengatasi krisis tersebut. PBB memperkirakan bahwa jika 30% lautan dunia berhasil dilindungi, populasi ikan bisa pulih secara signifikan dan menjaga keberlanjutan ekonomi masyarakat pesisir di masa depan.
Tantangan Implementasi
Meski disambut antusias, penerapan perjanjian ini tidak akan mudah. Ada beberapa tantangan besar yang perlu diatasi:
-
Pendanaan dan penegakan hukum.
Mengawasi kawasan laut yang luasnya jutaan kilometer persegi memerlukan teknologi satelit, kapal patroli, serta sistem hukum lintas negara. Banyak negara berkembang tidak memiliki sumber daya untuk itu. -
Konflik kepentingan ekonomi.
Beberapa perusahaan perikanan industri besar menentang pembatasan baru karena dianggap mengancam bisnis mereka. Negara-negara penghasil tambang laut dalam juga masih berdebat soal hak eksploitasi. -
Koordinasi antar lembaga internasional.
Saat ini sudah ada organisasi seperti International Maritime Organization (IMO) dan Regional Fisheries Management Organizations (RFMO). Tantangannya adalah bagaimana membuat semua badan tersebut bekerja selaras dengan perjanjian baru. -
Keterbatasan teknologi dan data ilmiah.
Laut dalam masih menjadi wilayah yang minim penelitian. Tanpa data yang memadai, sulit menentukan area mana yang harus dilindungi terlebih dahulu.
Namun demikian, banyak pakar menilai bahwa tantangan-tantangan tersebut bukan alasan untuk berhenti. Sebaliknya, hal ini justru menjadi dorongan untuk memperkuat kerja sama global.
Harapan ke Depan
Perjanjian Laut Lepas memberikan harapan baru bahwa dunia bisa bersatu untuk melindungi sumber daya yang dimiliki bersama. Ini adalah contoh nyata bahwa kolaborasi internasional dapat mengatasi persoalan lintas batas.
Para ilmuwan memandang perjanjian ini sebagai “kesempatan satu generasi” untuk mengubah cara manusia berinteraksi dengan lautan. Jika dijalankan dengan konsisten, hasilnya tidak hanya berupa pemulihan ekosistem laut, tapi juga keberlanjutan ekonomi dan sosial bagi miliaran orang yang bergantung pada laut untuk hidup mereka.
Bagi masyarakat umum, kesuksesan perjanjian ini juga bergantung pada kesadaran kita dalam kehidupan sehari-hari — mulai dari mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, memilih produk laut yang berkelanjutan, hingga mendukung kebijakan lingkungan yang berpihak pada konservasi.
Kesimpulan
Perjanjian Laut Lepas PBB adalah tonggak sejarah baru dalam diplomasi lingkungan. Dunia akhirnya memiliki instrumen hukum yang kuat untuk melindungi sebagian besar lautan yang selama ini tak tersentuh hukum nasional. Dengan berlakunya perjanjian ini pada tahun 2026, harapan besar muncul bahwa manusia dapat memperbaiki kerusakan yang telah terjadi dan mewariskan laut yang sehat bagi generasi mendatang.
Laut bukan hanya sekadar batas antara benua, tetapi juga jantung dari kehidupan di bumi. Melindunginya berarti melindungi diri kita sendiri — dan perjanjian ini adalah langkah besar pertama ke arah itu.
